Sima berarti “batas”. Sima merupakan tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang memiliki status “istimewa” yang diberikan oleh seorang penguasa kepada desa tertentu. Sima bisa berarti pula daerah yang dibatasi pula oleh tiang-tiang batu tersebut. Perolehan status istimewa ini biasanya dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban warga desa untuk memelihara bangunan keagamaan atau sarana umum lainnya yang memerlukan biaya khusus. Dari sudut pandang ekonomi, munculnya sima berarti mengurangi sebagian pajak atau penghasilan untuk kerajaan dan mengalihkannya untuk pemeliharaan sarana tersebut. Penetapan daerah sima paling banyak dijumpai pada masa Mataram dan Tamwlang-Kahuripan. (Rahadjo, 2002: 600)
Pemberian anugrah sima oleh raja seringkali diikuti oleh pembukaan tanah lama yang kurang produktif (ladang, pekarangan, dan kebun) menjadi lahan baru yang lebih produktif, yakni ladang.
Pranata sima sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahtraan tampak sangat dominan pada masa itu. Daftar prasasti tentang sima yang berasal dari Jawa Kuno periode Jawa Tengah berjumlah 104 buah. Masa Tamwlang-Kahuripan hanya berjumlah 26 prasasti; masa Jenggala-Kediri menghasilkan 22; sedangkan masa Singasari dan Majapahit secara bersama-sama hanya menghasilkan 9 buah (Suhadi, 1993: 365-378).
Pada bagian awal dari rangkaian upacara penetapan sima, digambarkan pemimpin desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagi-bagikan harta kekayaan kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan. Harta yang dibagikan sebagai hadiah ini biasanya berupa pakaian berbagai corak dan logam mulia dalam bentuk perak dan emas.
Satu hal yang menjadi keumuman dalam pemberian hadiah adalah melihat kedudukan atau posisinya seseorang dalam masyarakat. Pada masa itu, ternyata pola besaran pembagian hadiah tergantung kepada kedudukan seseorang dalam strata masyarakat, seorang pejabat istana kerajaan pusat tentunya akan berbeda dengan hadiah yang diberikan kepada pejabat desa. Ini menandakan bahwa stratifikasi sosial menjadi tolak ukur dalam pemberian hadiah.
Lebih lanjut Darmosutopo menegaskan bahwa biaya upacara sima terhitung besar bila dibadingkan dengan pendapatan sima setiap tahunnya. Darmosutopo menduga, hal ini dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, penerima sima merasa mendapat anugerah dari atasannya, sebab tidak semua orang mendapatkan sima; kedua, penerima sima mendapat hak-hak khusus, termasuk hak istimewa yang tidak semua orang memilikinya; ketiga, tanah sima berlaku untuk waktu yang lama; dan keempat, penerima sima terangkat martabatnya karena ada kalanya ia diberi gelar kehormatan. (Rahadjo, 2002: 85)
Berikut adalah salah satu prasasti yang menyatakan tentang adanya pemberian sima: Prasasti Sukabumi (Harinjing), sebuah prasasti pada batu, ditemukan di perkebunan Sukabumi, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur. Tulisannya terdapat pada kedua belah sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Di mata ahli epigrafi prasasti ini lebih dikenal sebagai Prasasti Harinjing.
Bagian depan disebut Prasasti Harinjing A. Isinya menyebutkan pada 11 Suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 M), para pendeta di daerah Culangi memperoleh hak sima (tanah yang dilindungi) atas daerah mereka karena telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing. Bagian belakang deisebut Prasasti Harinjing B, baris 1-23 menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka (19 September 921 M), mengakui hak-hak para pendeta di Culangi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Harinjing. Baris selanjutnya, disebut Prasasti Harinjing C, menyebutkan bahwa hak serupa diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra tahun 849 Saka (7 Maret 927 M).
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pemberian hadiah sima diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada kerajaan. Ini mengindikasikan bahwa raja sangat menghormati jasa-jasa seseorang atau kelompok yang sudah mampu berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kerajaan. Walau pun kadang-kadang tidak seimbang antara hadiah sima dengan upacara penetapan sima, tetapi ternyata semuanya menghendaki sima, karena memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri seperti yang telah dijelaskan di atas.
Di dalam Prasasti Mantyasih, Desa Mantyasih, disebut sima kapatihan karena yang mendapat anugerah adalah lima orang patih di Mantyasih. Di dalam Prasasti Sanggulan disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru gusali, yaitu ketua para pandai besi. Di dalam Prasasti Balingwan disebut sima kamulan, karena semula Desa Balingawan digangu oleh para penjahat sehingga penduduk harus sering membayar denda atas pembunuhan gelap dan perkelahian gelap yang mengakibatkan seseorang menderita luka-luka (Poesponegoro dkk, 2008: 155).
Berikut ini adalah beberapa prasasti yang menyatakan adanya peristiwa pemberian sima dan bagaimana proses perayaannya:
Prasasti Rukam 829 Saka / 907 Masehi (Nastiti, 1982: 26):
II. (19) ... i sampun yan mańka (20) na manamwah ikanaŋ patih wahuta muaŋ rāma tpi siring muaŋ rāma sinusuk laki-laki wadwan kabaih i sanghyaŋ watu sima muaŋ kulumpa umņwah sirakabaih i ron nira sampun muwah sira (21) mańigal mabata bata kapua mahyun nāhan cihna nyan sampun mapagě suddha pari suddha ikanaŋ wanua i rukam sinusuk de rakryān saňjiwana nini haji manasĕa i dharmma nira i ......
Terjemahan:
II. (19) ... setelah selesai Sang Makudur mengutuk (20) maka menyembahlah (seluruh hadirin seperti) patih, wahuta, pejabat desa dari desa perbatasan, pejabat desa yang telah dibatasi, laki-laki, perempuan semuanya kepada Sanghyang Watu Sima dan Kulumpang. Kemudian mereka menambah (makanan) pada daunnya. Setelah itu mereka menari (21) berjoged, bersuka ria bersama. Demikianlah tandanya (bahwa) Desa Rukah telah selesai dikukuhkan menjadi daerah perdikan oleh Rakryan Sanjiwana, neneknda raja, yang akan mempersembahkan dharmanya di....
Prasasti Pańgumulan 824 Saka/902 Masehi (Nastiti, 2003: 136):
III. a. (20) ... samańkanaŋ inigěllakan hana mapadahi marěggaŋ si catu rama ni kriyāmabrĕkuk si
III. b. (1) wāra rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas mā 1 iŋ sowaŋ sowaŋ // mulāpaňjut 4 si mā rama ni kutil si mańol si sāgara si mandon winaih mas ma 1 iŋ sowaŋ sowaŋ. Mūlawuai (2) si mari winaih mas ku 1 si paracan mabańol winaih pirak mā 4 .... (3) ... // mamańan mańinuŋ saŋ patih wahuta muaŋ (4) ramanta rainaņta muaŋ ńanak wanua kabaih laki-laki waduan matuha rarai milu mahantyan tar hana kāntun kapwa mamańan maninum mańigal kapua umtuakan inak ni amwĕk nira ....
Terjemahan:
III. a. (20) ... ada pun yang akan ditarikan ada penabuh kendang, pemimpin dari penabuh gamelan bernama si Catu ayahnya Kriya, juru kenong bernama si
III. b. (1) wara ayahnya Bhoga mereka diberi sehelai bebed dan emas 1 masa masing-masing // Petugas lampu pada waktu upacara penetapan sima (mulapanjut) 4 orang, yaitu si Ma ayahnya Kutil, si Manol, si Sagara, si Mandon diberi emas 1 masa masing-masing. Petugas menyiapkan air pada waktu upacara penetapan sima (Mulawuai) (2) bernama si Mari diberi emas 1 kupang, pelawak bernama si Paracan diberi perak 4 masa ... (3) ... // Makan dan minumlah sang patih, wahuta, dan (4) para rama serta ibu-ibu dengan penduduk desa semua, pria wanita, tua dan muda, ikut berganti-ganti tidak ada yang ketinggalan, semuanya makan, minum, menari dan meminum tuak sampai senang hati ....
Dari keterangan di atas kita mendapatkan beberapa keterangan yang menyatakan tentang pemberian sima, pemberian sima benar-benar dirayakan dengan penuh kegembiraan, hiburan pun ikut mengiringi acara ini. Hadiah dari penerima sima kepada orang-orang tertentu banyak di berikan, emas sebagai logam yang sangat berharga ternyata termasuk barang yang diberikan. Makanan dan minuman menjadi pelengkap adanya pesta penerimaan sima, musik menjadi pengiring orang-orang yang sedang berpesta.
Seperti apa yang dikemukakan di atas bahwa pada saat upacara pemberian sima, diadakan sebuah upacara bahkan sampai pemberian hadiah. Apa yang dilakukan oleh penerima sima, merupakan bentuk syukur karena telah diberikan sebuh kehormatan yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Apapun yang terjadi dalam peristiwa pemberian sima, merupakan sebuh penghargaan yang sangat besar dari atasan kepada bawahannya, yang telah mampu memberikan jasa kepada Kerajaan.
Hal positif yang perlu kita renungkan adalah, penetapan tanah anugrah sima telah memicu dan memberikan pola yang bijak, ketika setiap kepala Desa (akuwu) berusaha untuk memajukan desanya masing-masing dan memberikan yang terbaik kepada Raja mereka, hal tersebut menjadi ukuran dari keberhasilan sebuah desa yang di beri anugerah sima. Memakmurkan rakyat dan menyejahterakan kehidupan mereka merupakan syarat utama yang harus dipenuhi setiap pemimpin desa agar restu raja atas anugerah sima dilimpahkan kepada wilayahnya. Sebuah tatanan kenegaraan yang arif.
Kepustakaan
Darmosoetopo. 1995. “Dampak Kutukan dan Denda terhadap Penetapan Sima pada Masyarakat Jawa; dalam AHPA. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
_____ . 1997. “Hubungan Anatara Tanah Sima dengan Bangunan Keagamaan di Jawa pada Abad IX-X (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Suhadi, Machi. 1982. Sedikit Tinjauan tentang Struktur Pemerintahan Zaman Sindok dan Majapahit; dalam PIA II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
_____ .2008. Prasasti SUkabumi. [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Sukabumi.
Sumber: http://www.wacananusantara.org/2/472/Sima:%20Penghargaan%20Bagi%20yang%20Berjasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar