Jumat, 18 Februari 2011

BOLEHKAH MENGUSAP JILBAB KETIKA BERWUDHU ?


Sering kali, seorang muslimah berjilbab merasa kesulitan jika harus berwudhu di tempat umum yang terbuka. InMaksud hati ingin  berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu secara langsung. Akan tetapi jika hal itu dilakukan maka dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang lain yang bukan mahram. Karena anggota wudhu seorang wanita muslimah sebagian besarnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat yang rojih (terkuat).Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada pada kondisi yang demikian?
Saudariku, tidak perlu bingung dan mempersulit diri sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi hamba-Nya dalam syari’at Islam ini. Allah Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al Baqarah: 185)
Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai hukum wudhunya seorang muslimah dengan tetap mengenakan jilbabnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan.

Seorang Wanita Boleh Berwudhu dengan Tetap Memakai Jilbabnya

Terkait wudhunya seorang muslimah dengan tetap memakai jilbab penutup kepala, maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap jilbabnya sebagai ganti dari mengusap kepala. Lalu apa dalil yang membolehkan hal tersebut?
Dalilnya adalah bahwasanya Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dulu pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan beliau mengusap kerudungnya. Ummu Salamah adalah istri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apakah Ummu Salamah akan melakukannya (mengusap kerudung) tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 21/186, Asy Syamilah). Apabila mengusap kerudung ketika berwudhu tidak diperbolehkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Ummu Salamah melakukannya.
Ibnu Mundzir rahimahullah dalam Al-Mughni (1/132) mengatakan, “Adapun kain penutup kepala wanita (kerudung) maka boleh mengusapnya karena Ummu Salamah sering mengusap kerudungnya.”
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berwudhu dengan mengusap surban penutup kepala yang beliau kenakan. Maka hal ini dapat diqiyaskan dengan mengusap kerudung bagi wanita.
Dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari bapaknya, beliau berkata,
رأيت النبي صلّى الله عليه وسلّم، يمسح على عمامته وخفَّيه
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari (1/308 no. 205) dan lainnya)
Juga dari Bilal radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، مسح على الخفين والخمار
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan khimarnya.” (HR. Muslim (1/231) no. 275)
Dalam kondisi apakah seorang wanita diperbolehkan untuk mengusap kerudungnya ketika berwudhu?
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “(Pendapat) yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad, bahwasanya seorang wanita mengusap kerudungnya jika menutupi hingga di bawah lehernya, karena mengusap semacam ini terdapat contoh dari sebagian istri-istri para sahabat radhiyallahu ‘anhunna. Bagaimanapun, jika hal tersebut (membuka kerudung) menyulitkan, baik karena udara yang amat dingin atau sulit untuk melepas kerudung dan memakainya lagi, maka bertoleransi dalam hal seperti ini tidaklah mengapa. Jika tidak, maka yang lebih utama adalah mengusap kepala secara langsung.” (Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/120), Maktabah Syamilah)
Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah rahimahullah mengatakan, “Adapun jika tidak ada kebutuhan akan hal tersebut (berwudhu dengan tetap memakai kerudung -pen) maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama (yaitu boleh berwudhu dengan tetap memakai kerudung ataukah harus melepas kerudung -pen).”(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218))
Dengan demikian, jika membuka kerudung itu menyulitkan misalnya karena udara yang amat dingin, kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka kerudung karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain atau udzur yang lainnya maka tidaklah mengapa untuk tidak membuka kerudung ketika berwudhu. Namun, jika memungkinkan untuk membuka kerudung, maka yang lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.

Tata Cara Mengusap Kerudung
Adapun mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala pada saat wudhu, menurut pendapat yang kuat ada dua cara [1], diqiyaskan dengan tata cara mengusap surban, yaitu:

1. Cukup mengusap kerudung yang sedang dipakai.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya,
“Aku pernah melihat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.”
Surban boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya [2]. Karena kerudung bagi seorang wanita bias diqiyaskan dengan surban bagi pria, maka cara mengusapnya pun sama, yaitu boleh mengusap seluruh bagian kerudung yang menutupi kepala atau boleh sebagiannya saja. Akan tetapi, jika dirasa sulit untuk mengusap seluruh kerudung, maka diperbolehkan mengusap sebagian kerudung saja yaitu bagian atasnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu di atas.

2. Mengusap bagian depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap kerudung.
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، توضأ، ومسح بناصيته وعلى العمامة وعلى خفيه
“Bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu mengusap ubun-ubunnya, surbannya, dan juga khufnya.” (HR. Muslim (1/230) no. 274)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
رأيتُ رسولَ اللّه صلى الله عليه وسلم يتوضأ وعليه عمَامة قطْرِيَّةٌ، فَأدْخَلَ يَدَه مِنْ تحت العمَامَة، فمسح مُقدَّمَ رأسه، ولم يَنْقُضِ العِمًامَة
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, sedang beliau memakai surban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah surban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas surban itu.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah berkata, “Jika seorang wanita takut akan dingin dan yang semisalnya maka dia boleh mengusap kerudungnya. Karena sesungguhnya Ummu Salamah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya mengusap kerudung disertai dengan mengusap sebagian rambutnya.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218), Maktabah Syamilah)
Maka diperbolehkan bagi seorang muslimah untuk mengusap kerudungnya saja atau mengusap kerudung beserta sebagian rambutnya. Namun, untuk berhati-hati hendaknya mengusap sebagian kecil dari rambut bagian depannya beserta kerudung, karena jumhur ulama tidak membolehkan hanya mengusap kerudung saja, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. (Lihat Fiqhus Sunnah lin Nisaa, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim)
Syarat-Syarat Mengusap Kerudung
Para ulama berselisih pendapat tentang syarat-syarat mengusap penutup kepala (dalam konteks bahasan ini adalah kerudung). Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap penutup kepala sama dengan syarat-syarat mengusap khuf (sepatu). Perlu diketahui bahwa di antara syarat-syarat mengusap khuf adalah khuf dipakai dalam keadaan suci dan batas waktu mengusap khuf adalah sehari semalam untuk orang yang mukim dan tiga hari tiga malam untuk musafir.
Sebagian lagi berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap kerudung tidak dapat diqiyaskan dengan persyaratan mengusap khuf. Mengapa demikian? Meskipun sama-sama mengusap, tetapi mengusap kerudung merupakan pengganti dari mengusap kepala yang mana kepala merupakan anggota wudhu yang cukup dengan diusap, sedangkan mengusap khuf merupakan pengganti dari mengusap kaki yang mana kaki merupakan anggota wudhu yang dibasuh/dicuci.
Oleh karena itu tidaklah disyaratkan untuk memakai penutup kepala dalam keadaan suci dan tidak ada batasan waktu, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insya Allah. Mereka berpendapat karena dalam hal ini tidak ada ketetapan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai batasan waktunya. Kapanpun seorang wanita muslimah memakai kerudung dan berkepentingan untuk mengusapnya ketika berwudhu maka ia boleh mengusapnya, dan bila mana ia bisa melepas kerudungnya ketika berwudhu maka ia mengusap kepalanya, dan tidak ada batas waktu untuk hal tersebut. Namun, untuk lebih berhati-hati hendaknya kita tidak memakai penutup kepala kecuali dalam keadaan suci. (Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (11/119)). Wallahu a’lam.

[1] Thohurul Muslimi fii Dhouil Kitabi was Sunnati Mafhuumun wa Fadhoilun wa Adabun wa Ahkamun hal. 35 & 52, SyaikhSa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, MaktabahSyamilah
[2]Syarh Al-’Umdah hal. 276 dan Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/119)
Penulis: Ummu Isma’il Noviyani Maulida
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

sumber: http://muslimah.or.id/fikih/bolehkah-mengusap-jilbab-ketika-berwudhu.html

DALUWANG: BUKTI TRADISI PERNASKAHAN DI JOMBANG


 Oleh:
Agus Sulton
(Esai ini pernah dimuat di Radar Mojokerto Minggu, 13 Fabruari 2011)

Tradisi tulis-menulis sebenarnya sudah dimulai sejak berabad lamanya sebagai bacaan, pedoman manusia, kristalisasi atau cerminan akan zamannya. Dan bahasa sebagi medium yang mampu memberikan impresif tersendiri dalam menyampaikan dan menapaki kesusastraan, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulis. Hal ini dapat diperkuat dari banyaknya penemuan manuskrip-manuskrip (naskah kuno/buku kuno) yang masih tersimpan di masyarakat dan prasasti batu bertulis di kabupaten Jombang seperti, prasasti Geweng 855 Saka atau 933 Masehi. Peninggalan tersebut bertatahkan tulisan aksara Jawa Kawi dilihat dari bentuk huruf, bahasa, dan susunan yang digunakan.
Sepanjang  perkembangan pola berfikir masyarakat, tradisi tulis terus mengalami kemajuan, yaitu dari batu bertulis beralih ke daun lontar. Semacam initidak terlepas dari pandangan masyarakat Jawa yang selalu berusaha untuk menyelaraskan dirinya dengan kekuatan lingkungan. Dojosantosa (1985) mengakatan sebagai Hayuning Bawana (kedamaian dunia) dilakukan dengan cara memelihara dan memperbaiki adat tatacara yang hidup dalam masyarakat, berlandaskan pada kekuatan dan kekuasaan Tuhan seru sekalian alam. Dengan demikian, mayarakat Jawa pada saat itu sudah memahami perubahan untuk meningkatkan atau memperbaiki pola kehidupannya, ini bisa dibuktikan dari karya-karya kesusastraan yang dihasilkan. Kekuatan yang muncul dari hasil karyanya memancarkan kekuatan tersendiri—yang tidak bisa diciptakan oleh orang masa kini. Sebagaimana dimaklumi atas puncak sastra Jawa kuno kuat berada di Kediri, yang hasil-hasilnya berupa lontar berbentuk kakawin seperti Hariwangsa Gatutkaca Craya (Mpu Panuluh), Werthansancaya (Mpu Tanakung), Arjunawiwaha (Mpu Kanwa, tahun 1030 M), Baratayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Darmaja), Sumana Santaka (Mpu Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), dan sebagainya. Arjunawiwaha menceritakan tentang sosok Arjuna bertapa—mencari senjata untuk kepentingan perang melawan Kurawa. Sedangkan Gatutkaca Craya menggambarkan sosok Putra Arjuna, yaitu Abimanyu menikan dengan Siti Sundhari berkat bantuan Gatatkaca. Kresnayana bercerita masa kecil Kresna dan keluarganya.
Selain kerajaan Kediri, kerajaan Majapahit juga menghasilkan karya-karya agung seperti, Kutaramanama (Gajah Mada), Negarakertagama (Mpu Prapanca) banyak menceritakan tentang kerajaan Singasari pada masa Ken Arok sampai Hayam Wuruk, Arjunawiwaha (Mpu Tantular) menceritakan Patih Sumantri dan Arjuna Sasrabaha melawan Rahwana, Sutasoma (Mpu Tantular), Pararaton, Calon Arang, Sundayana, dan sebagainya.
Setelah lontar mengalami kemunduran, masyarakat mulai memakai kertas daluwang walaupun lontar tidak bisa ditinggalkan begitu saja, tetap dari sebagian masyarakat masih mempertahankan lontar sebagai media untuk menulis; baik menyalin manuskrip-manuskrip lama, menafsirkan aksara Arab ke bentuk tulisan pegon, dan karang mengarang. Daluwang merupakan kertas dari kulit pohon Waru yang dikelupas kemudian ditumbuk di atas balokan kayu. Untuk bahan pembuatan kertas daluwang di Jombang lebih dikenal dengan pohon Waru, Sunda (pohon Saeh), Madura (Dhalubang/Dhulubang), Banggai (pohon Linggowas), Sumba (pohon kembala), Tembuku (pohon Iwo), dan Kepulauan Seram (pohon Malak). Pohon ini di dunia disebut juga dengan Paper moerbeiboom, Japanischer papierbaum, Paper Mulberry , Murier a papier , dan Paper mulberry.
Kertas daluwangitu sendiri juga mempunyai banyak sebutan berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo disebut dengan kertas Gedog, nama ini diambil atas anggapan masyarakat bahwa bunyi saat proses pembuatan di atas balokan kayu, sedangkan keseluruan Jawa menyebutnya sebagai kertas daluwang/dluwang, Nusantara pada umumnya menamai dengan kertas Fuya, dan di dataran Pasifik disebut dengan kertas Tape. Orang awam yang kurang begitu memahami sejarah tradisi tulis masa lampau, kertas daluwang disebut sebagai kertas kulit (kulit binatang) atau kertas kapas, sekilas kertas ini memang mirip lulang kulit, berserabut atau serat, dan susah untuk disobek.
Metode dalam pembuatan kertas daluwang ini lebih sederhana. Pertama, disiapkan pohon Waru yang berusia sekitar dua tahun, kemudian dipotong sesuai keinginan dan kulitnya dikelupas, selanjutnya kelupasan tersebut direndam dalam air kurang lebih satu jam. Kedua, hasil perendaman tersebut diletakkan di atas bantalan balokan kayu lalu dipukul memakai Pameupeuh (sejenis alat pemukul) sampai kulit tersebut mencapai lebar 1,5-2 dari lebar semula, lalu kedua bagian disatukan secara membujur untuk menghasilkan kertas yang diinginkan. Ketiga, mencuci kulit yang sudah dipukuli tersebut ke dalam air bersih, diperas dengan pelan, dilipat-lipat, selanjutnya digulung—dibungkus memakai daun pisang sekirat 3-5 hari agar bisa menghasilkan lendir. Keempat, mengambil kulit-kulit tersebut dari  bungkusan untuk diletakkan di atas batang daun pisang sambil dijemur dan menghilangkah lendir yang berlebihan, sekiranya dirasa agak kering, selanjutnya bisa diangkat dari batang pohon pisang dipindahkan ke tali tampar pohon Waru yang sudah dibentangkan.
***
Produksi kertas daluwang mencapai kejayaan sekitar abad ke-18 M dan 19 M, ini dibuktikan dari beberapa manuskrip yang banyak ditemukan di masyarakat. Selama penulis melakukan penyelidikan di Jombang dan sekitarnya dari tahun 2008-sekarang, indikasinya dalam kolofon manuskrip tersebut mencantumkan candra-sengkala tidak jauh dari tahun 1800-an. Kebanyakan manuskrip-manuskrip itu ditulis menggunakan kertas daluwang, walapun ada sebagian yang ditulis memakai kertas watermark (cap: PC Hendrinksen, 1A, HS, VDL, seorang raja sedang duduk memegang tongkat), anggapan ini tergolong manuskrip tahun 1840-an
Secara umum manuskrip daluwang yang ada di Jombang lebih dominan pada manuskrip keagamaan, seperti tauhid, pengobatan, tarekat, fiqih, Akhlaq, cerita para Nabi dan sebagainya. Di sisi lain kitab ”jenggotan” berbahasa Arab merupakan manuskrip yang paling sering dijumpai dan hampir kesemuanya memakai kertas Eropa, baik watermark atau kertas bergaris renggang. Dalam konteks manuskrip pesantren masa lalu, kertas daluwang merupakan alas tulis yang banyak dipakai untuk menyalin dan penulisan naskah keagamaan. Di samping itu, kertas daluwang mudah didapat dari para pengrajin kertas dengan harga ekonomis dan ukuran sesuai dengan selera permintaan, dari pada kertas Eropayang pada saat itu susah didapatkan begitujuga harganya cukup mahal.
Menurut sumber tradisional, tinta untuk menulis kertas daluwangmereka buat sendiri secara natural, yaitu bleduk (getah) asem ranji dicampur dengan angus oncor atau arang, kemudian direbus sampai mengental. Ada juga jelaga berwarna hitam dicampur dengan kanji, arang, lada hitam atau beras ketan hitam, setelah itu dilarutkan dalam air untuk direbus, masyarakat menyebutnya sebagai tinta India. Campuran dari beberapa bahan tersebut bertujuan untuk menghasilkan warna hitam pekat, tinta menempel secara permanen di atas kertas, dan menjadikan tinta dapat mengering dengan cepat. Sementara itu, untuk menghasilkan efek warna yang beragam mereka sering menggunakan kulit cabai, bunga, daun inai, dan sebagainya yang sudah ditumbuk dengan halus. Sedangkan alat untuk menulis, mereka selalu memakai lidi dari pohon aren yang dijepit menggunakan potongan bambu sesuai ukuran pena sekarang, batang bulu angsa, dan potongan bambu kecil yang sudah diruncingkan.
Alat dan bahan tulis tersebut dibuat secara sederhaha, ini tidak lepas dari situasi dan kondisi pada waktu itupenuh keterbatasan. Secara tidak langsung, tradisi tulis semacam ini merupakan local genius yang dikembangkan didasarkan atas pola berfikir masyarakat yang terus memberi stimulasi haus akan ilmu pengetahuan pada masanya.             Dari beberapa informan di Jombang menjelaskan bahwa, tradisi tulis Jombang pernah mengalami masa gemilang sebelum tahun 1900, masyarakat pedesaan sering membacakan manuskrip daluwang pada saat ada salah seorang anggota keluarga punya hajatan seperti melahirkan (melekan jabang bayi), nikahan, bersih desa, dan sebagainya. Biasanya sesepuh desa dan sebagian kelompok tertentu nembang Serat Anbiya (aksara Pegon dan Jawa) dan cerita-cerita pewayangan sampai menjelang subuh tiba. Data ini diperkuat lagi dengan ditemukannya manuskrip Serat Anbiyabahan daluwang di Ngoro Jombang, dan beberapa cerita rakyat yang sudah banyak berkembang di masyarakat. Pernyataan itu membuktikan, bahwa di Jombang secara tidak langsung pernah ada jejak tradisi penulisan namun sifatnya lebih sederhana. Penyalinan dan penulisan manuskrip dilakukan antara orang per orang atau pesan ke seorang juru tulis, tidak seperti apa yang terjadi di Tegalsari Ponorogo secara kolektif, intens, dan komprehensif.
Namun aspek lain, manuskrip daluwang yang bisa kita lihat sekarangkondisinya sungguh memperihatinkan pemerintah tidak begitu peduli akan masalah ini, padahal tahun kemarin kita merasa orgasme-emosional setelah budaya lokal Nusantara dibikin geli oleh negara tetangga. Setidaknya kita sebagai masyarakat Indonesia sadar budaya  wajib memperhatikan akan manuskrip-manuskrip warisan nenek moyang dan menggalinya dari berbagai prespektif yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Manuskrip-manuskrip Melayu kuno sudah banyak digondol dan didigitalisasi secara ilegal oleh negara tetangga untuk mencari kekuatan sejarah tertua nenek moyang mereka sebagai hak prioritas terhadap negaranya. Kalau suatu saat naskah Melayu koleksi masyarakat sudah banyak yang melayang tidak jelas, apakah tim yang bergentayangan itu akan memburu manuskrip pegon dan aksara Jawa di sekitar kita?

Sabtu, 12 Februari 2011

MEMAHAMI HAKIKAT SYIRIK


Syirik merupakan dosa paling besar, kezaliman yang paling zalim, dosa yang tidak akan diampuni Allah, dan pelakunya diharamkan masuk surga serta seluruh amal yang pernah dilakukannya selama di dunia akan hangus dan sia-sia. Oleh sebab itu mengenal hakikat syirik dan bahayanya adalah perkara yang sangat penting.

Dosa yang paling besar
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisaa’ : 48, 116).
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Dengan ayat ini maka jelaslah bahwasanya syirik adalah dosa yang paling besar. Karena Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuninya bagi orang yang tidak bertaubat darinya (Fathul Majid).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar ? Maka beliau menjawab, “Yaitu engkau mengangkat tandingan/sekutu bagi Allah (dalam beribadah) padahal Dia lah yang telah menciptakanmu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, ayahnya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar ?. Beliau bertanya sebanyak tiga kali. Para sahabat menjawab, “Mau wahai Rasulullah! Lalu beliau bersabda, “Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Lalu beliau duduk tegak setelah sebelumnya bersandar seraya melanjutkan sabdanya, “Ingatlah, begitu juga berkata-kata dusta. Beliau mengulang-ulang kalimat itu sampai-sampai aku bergumam karena kasihan, “Mudah-mudahan beliau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itulah, Adz Dzahabi yang menulis kitab Al Kaba’ir menempatkan dosa syirik kepada Allah sebagai dosa besar nomor satu sebelum dosa-dosa yang lainnya. Beliau berkata, “Dosa besar yang terbesar adalah kesyirikan kepada Allah ta’ala.. (Al Kaba’ir)

Kezaliman yang paling zalim
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan (QS. Al Hadiid : 25).
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia menegakkan al qisth yaitu keadilan. Salah satu nilai keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan yang terbesar dan pilar penegaknya. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil (Ad Daa’ wa Ad Dawaa’).
Perhatikanlah firman Allah yang mulia yang mengisahkan nasehat seorang ayah yang bijak kepada puteranya, yang artinya,
“Wahai puteraku, janganlah berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar. (QS. Luqman : 13).
Ibadah adalah hak Allah, maka memperuntukkan ibadah kepada selain Allah adalah pelanggaran hak. Oleh sebab itu syirik disebut sebagai kezaliman, bahkan inilah kezaliman terbesar yang harus ditumpas oleh umat manusia! Sampai-sampai beberapa hari menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih sempat memperingatkan umat dari bahaya syirik dalam masalah kuburan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan itu. ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memberikan peringatan keras dari perbuatan mereka itu. (HR. Bukhari dan Muslim).

Pelanggaran terhadap hak Sang pencipta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah ? Maka Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu Rasul bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa hamba yang tidak mepersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata, Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hak yang harus ditunaikan oleh para hamba. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak yang paling agung. (Hushul Al Ma’mul)

Dosa yang tak terampuni
Seandainya seorang hamba berjumpa dengan Allah ta’ala dengan dosa sepenuh bumi niscaya Allah akan mengampuni dosa itu semua, akan tetapi tidak demikian halnya bila dosa itu adalah syirik. Allah ta’ala berfirman melalui lisan Nabi-Nya dalam sebuah hadits qudsi,
“Wahai anak Adam, seandainya engkau menjumpai-Ku dengan membawa dosa kesalahan sepenuh bumi dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku, niscaya Akupun akan menjumpaimu dengan ampunan sepenuh itu pula (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah 127).
Bahkan, di dalam Al Qur’an Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah tingkatan syirik bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya (QS. An Nisaa’ : 48 dan 116).
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni dosa syirik, artinya Dia tidak mengampuni hamba yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan musyrik, dan (Dia mengampuni dosa yang dibawahnya bagi orang yang dikehendaki-Nya); yaitu dosa-dosa (selain syirik-pent) yang akan Allah ampuni kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. ( Tafsir Ibnu Katsir).

Kekal di dalam neraka
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan. (QS. Al Bayyinah : 6).
Dari Jabir radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, niscaya masuk surga. Dan barang siapa yang berjumpa Allah dalam keadaan memepersekutukan sesuatu dengan-Nya, maka dia masuk neraka. (HR. Muslim)

Pemusnah pahala amalan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya ? Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid. Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya ? Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu. Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Qur’an. Dia didatangkan kemudian diingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ? Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena-Mu. Allah berfirman, Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Qur’an supaya disebut sebagai Qari’. Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim).

Kehilangan rasa aman dan petunjuk
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah (QS. Al An’aam : 82).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ketika ayat ini diturunkan para sahabat mengatakan, Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya? Maka Rasulullah pun menjawab, Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna,Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya,Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar. (HR. Bukhari).
Semoga Allah menyelamatkan diri kita dari bahaya syirik, yang tampak maupun yang tersembunyi.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber: http://muslimah.or.id/aqidah/memahami-hakikat-syirik.html

Jumat, 11 Februari 2011

JALAN MENUJU ALLAH



Banyak orang yang tersesat mencari Allah, karena tidak menyadari keberadaan Allah yang sangat dekat dengan manusia. Allah sesungguhnya tidak perlu dicari. Hanya sesuatu yang pernah hilang yang pantas dicari, sementara Allah selalu ada dimana-mana, dan tidak pernah hilang. Allah tidak pernah tidur dan selalu mengawasi gerak gerik kita. Tidak ada satu pun yang luput dari-Nya, Karena, Ia yang meliputi langit dan bumi beserta isinya

Maha suci Allah Pemberi Rahmat Alam Semesta.

Tak perlu jalan yang terjal dan sulit untuk mengenal-Nya. Untuk mengenal Allah tidak perlu rumit-rumit, tidak perlu pusing-pusing. Tidak menjadi jaminan orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, sudah mengenal Allah. Akal tidak mampu membuka rahasia Allah. Hanya hati orang mukmin yang mampu merasakan dan mewadahi Asmaul Husna.
Bacalah Al-Quran dengan hati penuh keimanan. Mushaf suci itu adalah kalam Ilahi yang tidak cukup dipahami dengan akal. Jangan sampai terjebak kita hanya menjadi pakar Al-Quran, tapi sesungguhnya tidak memahami hakekatnya. Hati pun tak pernah bergetar kala dibacakan ayat-ayar suci Al-Quran. Jiwa membeku tak merasakan getaran kehadiran Allah. dan, hati pun menjadi buta dengan petunjuk-Nya
Oleh karena itu, saatnya membuka jiwa dan mengasah hati agar merasakan kehadiran Allah. Namun, kita sering terhijab dengan pikiran dan perasaaan kita sendiri. Jalan menuju Allah pun akhirnya terhadang oleh tubuh kita yang sering dipenuhi nafsu amarah. Jika kita hanya dibalut dengan pikiran dan perasaan, maka kita tak akan pernah terhubung pada Yang Maha Kuasa
Namun, jika kita berzikir dengan asma-asma Allah, lisan kita, pikiran kita dan perasaan kita akan bersatu menuju Allah. Meski kesengsaraan dan kepayahan menghimpit kita, tak ada satu pun yang mampu menggoyahkan tekad jika hati sudah tertanam aqidah dan jiwa sudah menjawab panggilan-Nya.
Saat Nabi Muhammad mengajak para sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah, bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Jarak tempuh dari kota Mekah sampai ke Madinah, pada saat itu hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau naik unta. Nabi bersama rombongan membutuhkan waktu yang lama, berbulan-bulan untuk tiba di Madinah, yang saat itu bernama Yasrib.Tak banyak umat islam yang siap menempuh medan yang berat, melewati padang pasir yang gersang dan berbahaya, apalagi dengan bekal makanan dan minuman yang terbatas. Inilah ujian yang berat bagi umat muslim. Apakah umat islam kalah dalam ujian ini? Apakah umat muslim memilih mundur dari tantangan itu?
Hanya kaum muslim yang memiliki iman yang kuat, yang berani menempuh perjalanan sulit itu Nabi tidak membutuhkan umat yang banyak dalam peristiwa hijrah itu. Nabi cukup memiliki sedikit sahabat yang benar-benar teruji imannya. Nabi tidak membutuhkan umatnya, yang berhijrah karena harta atau wanita. Karena, mereka yang terpilih adalah yang melakukan hijrah karena Allah semata
Iman adalah cahaya yang mampu menembus sekat-sekat. Daya virbrasinya kuat, hingga menggetarkan alam semesta. Inilah awal mula Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, karena modal iman yang kuat.  Islam berkembang pesat hingga saat ini setelah Nabi menanamkan pondasi aqidah, yang dipegang teguh oleh para sahabat, para tabiin serta umatnya hingga zaman ini.
Saat ini kita sudah mengucapkan syahadat sebagai sebuah kesaksian spiritual akan keesaan Allah, dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Kita pun mengaku sudah beriman. Namun, kita sering merasakan hampa dalam kehidupan ini. Kita masih sering sedih, bingung, takut dan pesimis. Kita pun tak merasakan kehadiran Allah, karena pikiran dan perasaan kita lebih banyak terikat dalam kehidupan duniawi.
 Kita merasakan kesenangan karena sensasi kesenangan duniawi baik berupa harta, tahta, istri atau anak-anak kita. Sebaliknya, kita pun menderita karena keinginan duniawi kita tak terpenuhi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering tertambat dengan istri kita, anak-anak kita, atau harta kita. Disanalah letak persoalannya yang membuat kita sedih atau senang. Dalam sebuah hadist Nabi bersabda, “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka bersiaplah untuk disakiti olehnya, barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan dperbudaknya.”
Keimanan kita salah satunya ditentukan keimanan terhadap takdir baik dan takdir buruk yang menimpa kita. Iman kita sering ambruk karena gagal menerima takdir buruk dari Allah. Setiap orang baik beriman maupun tidak beriman akan menghadapi takdir Allah, namun ada perbedaaan yang mendasar. Bagi orang beriman, semua persoalan akan dikembalikan pada Allah. Semuanya milik Allah dan akan kembali pada Allah.
Semua orang baik yang beriman maupun tidak beriman akan mendapat persoalan, atau kesulitan hidup. Tidak benar ada keyakinan bahwa hanya orang yang beriman yang mendapat ujian. Kita ,orang-orang yang imannya masih tipis, tetap akan diihadang oleh takdir Allah yang mungkin rasanya pahit atau rasanya enak. Tapi ada perbedaan bagi orang yang beriman dan tidak beriman dalam menghadapi takdir Allah.
Orang yang beriman akan menyadari rahasia di balik takdir yang diberikan oleh Allah. Karena, ia selalu menghadap dan berkomunikasi dengan Allah, melalui shalatnya yang khusyu. Kekhusyuan akan membawa kita pada tahapan ihsan, merasakan bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya. Bahkan, ia akan makin merasakan bahwa semua penglihatan, pendengaran, dan geraknya adalah Allah.  Tingkatan iman seperti ini tak akan tercapai jika kita masih terhalang oleh dosa kita, akal kita dan kebodohan kita. Allah tidak akan bisa ditemui jika hati kita kotor. Allah tidak akan bisa digapai dengan akal dan kepintaran kita, karena Allah Zat Yang Maha Agung. Begitu pula, kebodohan kita membuat kita miskin ilmu, untuk memahami hakekat menuju Allah.
Nabi mengajarkan pada umatnya sebuah jalan untuk menuju Allah, yaitu shalat. Seringkali kita melakukan shalat, tetapi terlalu sibuk dengan gerakan dan bacaannya. Kita tidak mampu memisahkan mana tubuh kita, mana rohani kita. Tubuh kita cenderung pada tanah, karena memang terbuat dari tanah. Maka, tidak heran kita cenderung mencintai sesuatu yang berasal dari tanah, seperti anak-anak kita, istri kita, perhiasan dan binatang ternak. Sementara, ruhani kita cenderung naik ke atas menuju Pemiliknya, yaitu Zat Yang Tidak bisa diserupakan dengan makhluk-Nya. Dengan shalat, ruhani kita didorong dengan kesadaran untuk meninggalkan tubuh dan mencapai orbit Ilahi. Dirikanlah shalat dengan kesadara jiwa, yang memiliki potensi ruh, karena inilah yang dipanggil Allah dan dimasukan ke golongan hamba-hamba-Nya yang diridhai-Nya

Sumber: http://www.shalatcenter.com/component/content/article/1-latest-news/127-jalan-menuju-allah.html

Jumat, 04 Februari 2011

BERBURU DO'A MUSTAJABAH


Hidup ini tak lekang dengan masalah, silih berganti dari masalah satu ke masalah lain. Akan tetapi jika kita mau berfikir sebenarnya dibalik masalah tersebut ada pelajaran yang berharga yang dapat kita petik. Rugilah kita tatkala menyia-nyiakan masalah, berlari dari masalah ataupun pura-pura mengaburkan masalah tersebut.
Saudariku, sebagai wanita dengan kodrat yang mempunyai beragam peran tentunya tak jauh dari masalah. Terlebih lagi secara fitrah, wanita sering mengedepankan hati atau perasaan untuk menilai sesuatu. Dengan demikian hendaknya kita mencari cara agar kita dapat mensiasati kelemahan itu agar menjadi lebih tegar tatkala kita dirundung masalah.
Saudariku, berdoalah kepada Allah karena itulah kunci dari segala masalah kita, Allah telah berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al Baqarah: 186)
Apa susahnya kita mengadu kepada Allah yang telah mentakdirkan semua masalah yang telah menghampiri kita? Segala masalah akan ada kunci jawabnya meskipun entah kapan waktunya. Kita hanya bisa serahkan kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin untuk memecahkannya. Ingatlah saudariku apapun masalahnya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Qs Ar-Ra’d: 28)
Saudariku doa adalah kunci yang sangat ampuh dan mujarab untuk melepaskan kepenatan hati, rasa was-was ataupun segala masalah yang sedang kita hadapi. Ingatlah bahwa doa adalah inti ibadah. Kita percaya bahwa dengan terus dan terus memohon kepada Allah maka Allah akan memudahkan urusan kita.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:
“Jika Allah akan memberi kunci kepada seorang hamba, berarti Allah akan membuka (pintu kebaikan) kepadanya dan jika seseorang disesatkan Allah, berarti ia akan tetap berada di depan pintu tersebut.”
Tentu saja tidak semua doa dapat diterima. Oleh karena itu pandai-pandailah dalam mensiasati agar doa terkabul. Dalam kesempatan kali ini akan kami jelaskan orang-orang yang beruntung karena doanya terkabul dan waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Akan tetapi hal ini tidak berarti memvonis orang-orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, doanya tidak dikabulkan, Wallahu a’lam bishawab.
Serahkan semua usaha kita kepada Allah, karena Allah yang berhak menentukan hasil dari proses yang kita usahakan.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“ Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ’Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, Aku bersamanya bila dia ingat Aku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia menyebut Nama-Ku dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutkan dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR Bukhari Muslim)
Ada beberapa golongan manusia yang doanya terkabul, antara lain;
  • Doa seorang muslim terhadap saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya
    Dari Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu, dia berkata bahwa Nabi Muhammamad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak ada dihadapannya kecuali ada seorang malaikat yang ditugaskan berkata kepadanya:’Aamiin, dan bagimu seperti yang kau do’akan.” (HR Muslim)
  • Orang yang memperbanyak berdoa pada saat lapang dan bahagia
    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang.” (HR At-Tirmidzi, Dishahihkan oleh Dzahabi dan dihasankan oleh Al-albani)
  • Orang yang teraniaya
    Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Hati-hatilah dengan doa orang-orang yang teraniaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan).” (HR Bukhari & Muslim)
  • Doa orangtua kepada anaknya dan doa seorang musafir
    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
”Tiga orang yang doanya pasti terkabullkan; doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir dan doa orangtua terhadap anaknya.” HR Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani
  • Doa orang yang sedang berpuasa
    Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, dia Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tiga doa yang tidak ditolak; doa orangtua terhadap anaknya, doa orang yang sedang puasa, dan doa seorang musafir.” HR Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani
Kemudian lebih baik lagi tatkala kita tahu waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa sehingga kita bisa maksimal dalam berdoa. Antara lain:
  • Sepertiga Akhir Malam
    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga akhir malam terakhir, lalu berfirman: Barangsiapa yang berdoa, pasti akan Kukabulkan, barangsiapa yang memohon pasti akan Aku perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti akan Ku ampuni.” (HR Bukhari)
  • Tatkala berbuka puasa bagi orang yang berpuasa
    Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu’anhu, dia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada saat berbuka ada doa yang tidak ditolak.” (HR Ibnu Majah)
  • Pada setiap dubur shalat fardhu (sesudah tasyahud akhir, sebelum salam)
    Dari Abu Umamah Radhiyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wata’alla, beliau menjawab:
“Dipertengahan malam yang akhir dan pada setiap dubur shalat fardhu.” (HR At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  • Pada saat perang berkecamuk
    Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak; doa pada saat adzan dan doa tatkala perang berkecamuk.” (HR Abu Daud dishahihkan oleh Imam Nawawi dan Al-Albani)
  • Sesaat pada hari Jum’at
    Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Abul Qasim Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya pada hari Jum’at ada sesaat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan dikabulkan. Beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan sebentarnya waktu tersebut.” (HR Al Bukhari)
  • Pada waktu bangun tidur malam hari bagi orang yang bersuci dan berdzikir sebelum tidur
    Dari ‘Amr bin ‘Anbasah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya.” (HR Ibnu Majah)
  • Diantara adzan dan iqamah
    Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR Abu Daud, dishahihkan Al-Albani)
  • Pada waktu sujud dalam shalat
    Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab doa saat itu sangat diharapkan untuk terkabul.” (HR Muslim)
  • Pada saat sedang turun hujan
    Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Dua doa yang tidak pernak ditolak; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu turun hujan.” (HR Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani)
  • Pada saat ada orang yang baru saja meninggal
    Dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alahi wasallam bersabda tatkala Abu Salamah sakaratul maut:
“Susungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya.” Semua keluarga histeris. Beliau bersabda:”Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali kebaikan, sebab para malaikat meng-amini apa yang kamu ucapkan.” (HR Muslim)
  • Pada malam lailatul qadr
    Allah Subhanahu wata’alla berfirman:
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Qs Al Qadr: 3-5)
  • Doa pada hari Arafah
    Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu’anhu dari bapaknya dari kakeknya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah.” (HR At Tirmidzi dishahihkan Al-Albani)

Sumber: muslimah.or.id
Penyusun : Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari
Muroja’ah : Ust Abu Ukasyah Aris Munandar

Rujukan:
Do’a dan wirid penerbit Pustaka Imam Syafi’i
Kesalahan dalam Berdoa penerbit Darul Haq

SIMA: PENGHARGAAN BAGI YANG BERJASA


Sima berarti “batas”. Sima merupakan tiang batu yang dipasang sebagai tanda batas suatu daerah yang memiliki status “istimewa” yang diberikan oleh seorang penguasa kepada desa tertentu. Sima bisa berarti pula daerah yang dibatasi pula oleh tiang-tiang batu tersebut. Perolehan status istimewa ini biasanya dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban warga desa untuk memelihara bangunan keagamaan atau sarana umum lainnya yang memerlukan biaya khusus. Dari sudut pandang ekonomi, munculnya sima berarti mengurangi sebagian pajak atau penghasilan untuk kerajaan dan mengalihkannya untuk pemeliharaan sarana tersebut. Penetapan daerah sima paling banyak dijumpai pada masa Mataram dan Tamwlang-Kahuripan. (Rahadjo, 2002: 600)
     Pemberian anugrah sima oleh raja seringkali diikuti oleh pembukaan tanah lama yang kurang produktif (ladang, pekarangan, dan kebun) menjadi lahan baru yang lebih produktif, yakni ladang.    
        Pranata sima sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahtraan tampak sangat dominan pada masa itu. Daftar prasasti tentang sima yang berasal dari Jawa Kuno periode Jawa Tengah berjumlah 104 buah. Masa Tamwlang-Kahuripan hanya berjumlah 26 prasasti; masa Jenggala-Kediri menghasilkan 22; sedangkan masa Singasari dan Majapahit secara bersama-sama hanya menghasilkan 9 buah (Suhadi, 1993: 365-378).     
       Pada bagian awal dari rangkaian upacara penetapan sima, digambarkan pemimpin desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagi-bagikan harta kekayaan kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan. Harta yang dibagikan sebagai hadiah ini biasanya berupa pakaian berbagai corak dan logam mulia dalam bentuk perak dan emas.
      Satu hal yang menjadi keumuman dalam pemberian hadiah adalah melihat kedudukan atau posisinya seseorang dalam masyarakat. Pada masa itu, ternyata pola besaran pembagian hadiah tergantung kepada kedudukan seseorang dalam strata masyarakat, seorang pejabat istana kerajaan pusat tentunya akan berbeda dengan hadiah yang diberikan kepada pejabat desa. Ini menandakan bahwa stratifikasi sosial menjadi tolak ukur dalam pemberian hadiah.
     Lebih lanjut Darmosutopo menegaskan bahwa biaya upacara sima terhitung besar bila dibadingkan dengan pendapatan sima setiap tahunnya. Darmosutopo menduga, hal ini dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, penerima sima merasa mendapat anugerah dari atasannya, sebab tidak semua orang mendapatkan sima; kedua, penerima sima mendapat hak-hak khusus, termasuk hak istimewa yang tidak semua orang memilikinya; ketiga, tanah sima berlaku untuk waktu yang lama; dan keempat, penerima sima terangkat martabatnya karena ada kalanya ia diberi gelar kehormatan. (Rahadjo, 2002: 85)
     Berikut adalah salah satu prasasti yang menyatakan tentang adanya pemberian sima: Prasasti Sukabumi (Harinjing), sebuah prasasti pada batu, ditemukan di perkebunan Sukabumi, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur. Tulisannya terdapat pada kedua belah sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Di mata ahli epigrafi prasasti ini lebih dikenal sebagai Prasasti Harinjing.
     Bagian depan disebut Prasasti Harinjing A. Isinya menyebutkan pada 11 Suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 M), para pendeta di daerah Culangi memperoleh hak sima (tanah yang dilindungi) atas daerah mereka karena telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing. Bagian belakang deisebut Prasasti Harinjing B, baris 1-23 menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka (19 September 921 M), mengakui hak-hak para pendeta di Culangi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Harinjing. Baris selanjutnya, disebut Prasasti Harinjing C, menyebutkan bahwa hak serupa diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra tahun 849 Saka (7 Maret 927 M).
    Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pemberian hadiah sima diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada kerajaan. Ini mengindikasikan bahwa raja sangat menghormati jasa-jasa seseorang atau kelompok yang sudah mampu berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kerajaan. Walau pun kadang-kadang tidak seimbang antara hadiah sima dengan upacara penetapan sima, tetapi ternyata semuanya menghendaki sima, karena memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri seperti yang telah dijelaskan di atas.
    Di dalam Prasasti Mantyasih, Desa Mantyasih, disebut sima kapatihan karena yang mendapat anugerah adalah lima orang patih di Mantyasih. Di dalam Prasasti Sanggulan disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru gusali, yaitu ketua para pandai besi. Di dalam Prasasti Balingwan disebut sima kamulan, karena semula Desa Balingawan digangu oleh para penjahat sehingga penduduk harus sering membayar denda atas pembunuhan gelap dan perkelahian gelap yang mengakibatkan seseorang menderita luka-luka (Poesponegoro dkk, 2008: 155).
    Berikut ini adalah beberapa prasasti yang menyatakan adanya peristiwa pemberian sima dan bagaimana proses perayaannya:

Prasasti Rukam 829 Saka / 907 Masehi (Nastiti, 1982: 26):
II. (19) ... i sampun yan mańka (20) na manamwah ikanaŋ patih wahuta muaŋ rāma tpi siring muaŋ rāma sinusuk laki-laki wadwan kabaih i sanghyaŋ watu sima muaŋ kulumpa umņwah sirakabaih i ron nira sampun muwah sira (21) mańigal mabata bata kapua mahyun nāhan cihna nyan sampun mapagě suddha pari suddha ikanaŋ wanua i rukam sinusuk de rakryān saňjiwana nini haji manasĕa i dharmma nira i ......

  Terjemahan:
II. (19) ... setelah selesai Sang Makudur mengutuk (20) maka menyembahlah (seluruh hadirin seperti) patih, wahuta, pejabat desa dari desa perbatasan, pejabat desa yang telah dibatasi, laki-laki, perempuan semuanya kepada Sanghyang Watu Sima dan Kulumpang. Kemudian mereka menambah (makanan) pada daunnya. Setelah itu mereka menari (21) berjoged, bersuka ria bersama. Demikianlah tandanya (bahwa) Desa Rukah telah selesai dikukuhkan menjadi daerah perdikan oleh Rakryan Sanjiwana, neneknda raja, yang akan mempersembahkan dharmanya di....

Prasasti Pańgumulan 824 Saka/902 Masehi (Nastiti, 2003: 136):
III. a. (20) ... samańkanaŋ inigěllakan hana mapadahi marěggaŋ si catu rama ni kriyāmabrĕkuk si
III. b. (1) wāra rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas mā 1 iŋ sowaŋ sowaŋ // mulāpaňjut 4 si mā rama ni kutil si mańol si sāgara si mandon winaih mas ma 1 iŋ sowaŋ sowaŋ. Mūlawuai (2) si mari winaih mas ku 1 si paracan mabańol winaih pirak mā 4 .... (3) ... // mamańan mańinuŋ saŋ patih wahuta muaŋ (4) ramanta rainaņta muaŋ ńanak wanua kabaih laki-laki waduan matuha rarai milu mahantyan tar hana kāntun kapwa mamańan maninum mańigal kapua umtuakan inak ni amwĕk nira ....

Terjemahan:
III. a. (20) ... ada pun yang akan ditarikan ada penabuh kendang, pemimpin dari penabuh gamelan bernama si Catu ayahnya Kriya, juru kenong bernama si
III. b. (1) wara ayahnya Bhoga mereka diberi sehelai bebed dan emas 1 masa masing-masing // Petugas lampu pada waktu upacara penetapan sima (mulapanjut) 4 orang, yaitu si Ma ayahnya Kutil, si Manol, si Sagara, si Mandon diberi emas 1 masa masing-masing. Petugas menyiapkan air pada waktu upacara penetapan sima (Mulawuai) (2) bernama si Mari diberi emas 1 kupang, pelawak bernama si Paracan diberi perak 4 masa ... (3) ... // Makan dan minumlah sang patih, wahuta, dan (4) para rama serta ibu-ibu dengan penduduk desa semua, pria wanita, tua dan muda, ikut berganti-ganti tidak ada yang ketinggalan, semuanya makan, minum, menari dan meminum tuak sampai senang hati ....
    
         Dari keterangan di atas kita mendapatkan beberapa keterangan yang menyatakan tentang pemberian sima, pemberian sima benar-benar dirayakan dengan penuh kegembiraan, hiburan pun ikut mengiringi acara ini. Hadiah dari penerima sima kepada orang-orang tertentu banyak di berikan, emas sebagai logam yang sangat berharga ternyata termasuk barang yang diberikan. Makanan dan minuman menjadi pelengkap adanya pesta penerimaan sima, musik menjadi pengiring orang-orang yang sedang berpesta.
       Seperti apa yang dikemukakan di atas bahwa pada saat upacara pemberian sima, diadakan sebuah upacara bahkan sampai pemberian hadiah. Apa yang dilakukan oleh penerima sima, merupakan bentuk syukur karena telah diberikan sebuh kehormatan yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Apapun yang terjadi dalam peristiwa pemberian sima, merupakan sebuh penghargaan yang sangat besar dari atasan kepada bawahannya, yang telah mampu memberikan jasa kepada Kerajaan.
        Hal positif yang perlu kita renungkan adalah, penetapan tanah anugrah sima telah memicu dan memberikan pola yang bijak, ketika setiap kepala Desa (akuwu) berusaha untuk memajukan desanya masing-masing dan memberikan yang terbaik kepada Raja mereka, hal tersebut menjadi ukuran dari keberhasilan sebuah desa yang di beri anugerah sima. Memakmurkan rakyat dan menyejahterakan kehidupan mereka merupakan syarat utama yang harus dipenuhi setiap pemimpin desa agar restu raja atas anugerah sima dilimpahkan kepada wilayahnya. Sebuah tatanan kenegaraan yang arif.


Kepustakaan
Darmosoetopo. 1995. “Dampak Kutukan dan Denda terhadap Penetapan Sima pada Masyarakat Jawa; dalam AHPA. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
_____ . 1997. “Hubungan Anatara Tanah Sima dengan Bangunan Keagamaan di Jawa pada Abad IX-X (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
 Suhadi, Machi. 1982. Sedikit Tinjauan tentang Struktur Pemerintahan Zaman Sindok dan Majapahit; dalam PIA II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
_____ .2008. Prasasti SUkabumi. [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Sukabumi.

Sumber: http://www.wacananusantara.org/2/472/Sima:%20Penghargaan%20Bagi%20yang%20Berjasa

ASAL USUL KOTA KEDIRI


Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata "KEDI" yang artinya "MANDUL" atau "Wanita yang tidak berdatang bulan". Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, 'KEDI" berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama "KEDI WRAKANTOLO". Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, "KEDI" berarti Suci atau Wadad.  Di samping itu kata Kediri berasal dari kata "DIRI" yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan). Untuk itu dapat kita baca pada prasasti "WANUA" tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi : "Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban", artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama
Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang. Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceker, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, "Tanah Perdikan". Dalam prasasti itu tertulis "Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri" artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur."Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo", sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang ("tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri").
Menurut bapak MM. Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa "hari jadi Kediri" muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimunculkan pada ketiga prasasti. Alasannya Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi. Dilihat dari ketiga tanggal tersebut menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bagawanta Bhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.
Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi "Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.

MENGUKIR KEDIRI LEWAT TANGAN BHAGAWANTA BARI.
Mungkin saja Kediri tidak akan tampil dalam panggung sejarah, andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong. Boleh dikata, pada waktu itu Bagawanta Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi sekarang ini. Atau mungkin seperti memperoleh penghargaan Kalpataru sebagai Penyelamat Liangkungan. Memang Kiprah Bagawanta Bhari kala itu, bagaimana upaya tokoh spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamrih inilah akhirnya menghantarkan dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala itu. Ketika itu tidak ada istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara akan mendapat "Ganjaran" seperti Bagawanta Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran itu berupa gelar kehormatan "Wanuta Rama" (ayah yang terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di daerah yang dikuasai Bagawanta Bhari, seperti Culanggi dan Kawasan Kabikuannya.
Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung dan Wilang, hanya dikenakan "I mas Suwarna" kepada Sri Maharaja setiap bulan "Kesanga" (Centra).Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa "Kring Padammaduy" (Iuran Pemadam Kebakaran), "Tapahaji erhaji" (Iuran yang berkaitan dengan air), "Tuhan Tuha dagang" (Kepala perdagangan), "Tuha hujamman" (Ketua Kelompok masyarakat), "Manghuri" (Pujangga Kraton), "Pakayungan Pakalangkang" (Iuran lumbung padi), "Pamanikan" (Iuran manik-manik, permata) dan masih banyak pajak lainnya.
Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya. maka sebagai peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai "Pengeleng-eleng" (Peringatan). Prasasti itu diberi nama "HARINJING B" yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan disebitlah "Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi). Budhawara (Hari Rabo), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.
Menurut penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara. Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.
Adanya Kabupaten dan Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi Kediri yang sekarang ini masih merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala wilayah pula. Menurut para ahli, baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta, dalam etimologi "Kadiri" disebut sebagai "Kedi" yang artinya "Mandul", tidak berdatang bulan (aprodit). Dalam bahasa Jawa Kuno, "Kedi" juga mempunyai arti "Dikebiri" atau dukun.
Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak ada kaitannya dengan "Kedi" maupun tokoh "Rara Kilisuci". Namun berasal dari kata "diri" yang berarti "adeg" (berdiri) yang mendapat awalan "Ka" yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti "Menjadi Raja". Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada. Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan, apalagi dengan Kedi kurang beralasan. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo, dalam kamus Melayu, kata "Kediri" dan "Kendiri" sering menggantikan kata sendiri. Perubahan pengucapan "Kadiri" menjadi "Kediri" menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, di mana perubahan seperti tadi sering terjadi.


Sumber:  http://ko-kr.facebook.com/notes/kediri-lama-pusaka-negara/sejarah-dan-asal-mula-hari-jadi-kediri-25-maret-804-m/497905535577

Rabu, 02 Februari 2011

KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJUD



Shalat malam, bila shalat tersebut dikerjakan sesudah tidur, dinamakan shalat Tahajud, artinya terbangun malam. Jadi, kalau mau mengerjakansholat Tahajud, harus tidur dulu. Shalat malam ( Tahajud ) adalah kebiasaan orang-orang shaleh yang hatinya selalu berdampingan denganAllah SWT.
Berfirman Allah SWT di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”
(QS : Al-Isro’ : 79)

Shalat Tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Sekarang shalat Tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan .
Sahabat Abdullah bin
Salam mengatakan, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“ Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.”(HR Tirmidzi)

Bersabda Nabi Muhammad SAW :
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim )

1.      Waktu Untuk Melaksanakan Sholat Tahajud :
Kapan afdhalnya shalat Tahajud dilaksanakan ? Sebetulnya waktu untuk melaksanakan shalat Tahajud ( Shalatul Lail ) ditetapkan sejak waktu Isya’ hingga waktu subuh ( sepanjang malam ). Meskipun demikian, ada waktu-waktu yang utama, yaitu :
Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – 22.00 )
2.      Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul 22.00 – 01.00 )
3.      Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul 01.00 - Subuh )
Menurut keterangan yang sahih, saat ijabah (dikabulkannya do’a) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”
Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda :
“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad)
Bersabda Rosulullah SAW :
“ Sesungguhnya pada waktu malam ada satu saat ( waktu. ). Seandainya seorang Muslim meminta suatu kebaikan didunia maupun diakhirat kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” ( HR Muslim )

Nabi SAW bersabda lagi : “Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun ( ke langit dunia ) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “ Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Jumlah Raka’at Shalat Tahajud : Shalat malam (Tahajud) tidak dibatasi jumlahnya, tetapi paling sedikit 2 ( dua ) raka’at. Yang paling utama kita kekalkan adalah 11 ( sebelas ) raka’at atau 13 ( tiga belas ) raka’at, dengan 2 ( dua ) raka’at shalat Iftitah. Cara (Kaifiat) mengerjakannya yang baik adalah setiap 2 ( dua ) rakaat diakhiri satu salam. Sebagaimana diterangkan oleh Rosulullah SAW :“ Shalat malam itu, dua-dua.” ( HR Ahmad, Bukhari dan Muslim )
Adapun Kaifiat yang diterangkan oleh Sahabat Said Ibnu Yazid, bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat malam 13 raka’at, sebagai berikut :
1.      2 raka’at shalat Iftitah.
2.      8 raka’at shalat Tahajud.
3.      3 raka’at shalat witir.
Adapun surat yang dibaca dalam shalat Tahajud pada raka’at pertama setelah surat Al-Fatihah ialah Surat Al-Baqarah ayat 284-286. Sedangkan pada raka’at kedua setelah membaca surat Al-Fatihah ialah surat Ali Imron 18-19 dan 26-27. Kalau surat-surat tersebut belum hafal, maka boleh membaca surat yang lain yang sudah dihafal.Rasulullah SAW bersabda : “Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, mukanya disiram air.” (HR Abu Daud)
Bersabda Nabi SAW : “Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga
keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)
1.      Keutamaan Shalat Tahajud :
Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah SAW suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan
sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
Adapun lima keutamaan didunia itu, ialah :
Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2.      Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3.      Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh
semua manusia.
4.      Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
5.      Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.
Sedangkan yang empat keutamaan diakhirat, yaitu :
1.      Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
2.      Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
3.      Ketika menyebrangi jembatan Shirotol Mustaqim, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar.
4.      Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.
(Bahan (materi) di ambil dari buku “RAHASIA SHALAT SUNNAT” (Bimbingan Lengkap dan Praktis) Oleh: Abdul Manan bin H. Muhammad S
 

Sumber: http://rudi-ymm.abatasa.com/post/detail/456/keutamaan-sholat-tahajud